Selasa, 15 Juni 2010

APAKAH ITU FITNAH

FITNAH

Pengertian Fitnah

Kata fitnah dalam bahasa arab berarti naminah, yaitu menyebarkan berita jelek atau cerita yang tidak benar dalam suatu hal atau orang lain, baik secara diam-diam maupun terbuka. Fitnah ini sebenarnya dutegakkan atas tiga perkara yaitu kedustaan, kedengkian dan kemunafikan.
fitnah sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. fitnah tidak sekedar menyebarkan perkataan buruk tetapi juga mengadu domba dan memutar balikkan fakta sehingga Allah SWT menggambarkan fitnah lebih kejam dari pembunuhan, dalam ayatnya yang berbunyi:
"Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan."(QS. Al-Baqarah:191)
Fitnah adalah suatu sipat yang tercela , suatu usaha seseorang untuk mencemarkan nama baik seseorang, sehingga orang yang tidak mengerti persoalan menganggap bahwa fitnah itu benar. Sehingga opini masyarakat akan negative kepada kelompok atau seseorang yang kena fitnah tersebut. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan . .lihat al-Qur’an online di google
Artinya:”Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”( QS Al Baqarah : 192-193 ).
fitnah merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat mempengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang. Kata "fitnah" diserap dari bahasa Arab, dan pengertian aslinya adalah "cobaan" atau "ujian".
Hal terkait fitnah adalah pengumuman fakta yang bersifat pribadi kepada publik, yang muncul ketika seseorang mengungkapkan informasi yang bukan masalah umum, dan hal tersebut bersifat menyerang pribadi yang bersangkutan.


Hukum penjelasan palsu "terutama ditujukan untuk melindungi kesejahteraan mental atau emosional penuntut". Jika publikasi informasi itu palsu, terjadilah kesalahan berupa fitnah. Jika komunikasi itu tidak salah secara teknis namun menyesatkan, kesalahan berupa penjelasan palsu bisa terjadi.
Sementara dampak yang ditimbulkan oleh fitnah selalu negatif, tidak pernah ada yang positif. Karena itulah fitnah dikatakan berbahaya. Adapun bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh fitnah antara lain sebagai berikut :

a. Menimbulkan kesengsaraan, baik bagi si pemfitnah maupun bagi yang di fitnah.
b. Menimbulkan keresahan ditengah masyarakat
c. Merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan
d. Mencelakakan orang lain
e. Merugikan orang lain dan diri sendiri
f. Masuk Neraka (mendapat siksa)
g. Diancam tidak masuk Syurga, sebagaimana Hadist Nabi SAW tersebut ini :

Lantas bagaimana cara menghindari penyakit fitnah itu ? Untuk menghindari penyakit fitnah itu ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu :

a. Selalu waspada dan hati-hati dalam setiap masalah
b. Jangan membuka rahasia (aib) orang lain
c. Menumbuhkan rasa persamaan dan kasih sayang sesama manusia
d. Mengamalkan ajaran agama
e. Membiasakan diri bersyukur kepada Allah SWT dan merasa cukup atas segala pemberian Allah.
f. Menjauhi seluruh penyebabnya, seperti mengikuti hawa nafsu, persaingan duniawi yang tidak bersih dan lain-lain
g. Berhati-hati dalam berbicara, bertindak dan dalam menerima kebenaran informasi.
Kita sering mendengar istilah “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Namun rupanya tidak banyak yang tahu darimana istilah ini berasal, dan apa makna sebenarnya dari kalimat tersebut. Pokoknya asal pakai saja, dan ngaku-ngaku itu ajaran Islam, karena kalimat tersebut ‘kelihatannya’ berasal dari Al Qur’an.
Dalam bahasa sehari-hari kata ‘fitnah’ diartikan sebagai penisbatan atau tuduhan suatu perbuatan kepada orang lain, dimana sebenarnya orang yang dituduh tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Maka perilaku tersebut disebut memfitnah. Tapi apakah makna ‘fitnah’ yang dimaksud di dalam Al Qur’an itu seperti yang disebutkan itu? Mari kita telaah.



Fitnah” dan Penanggulangannya
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah. Kami memujinya. Kami memohon pertolongan kepadaNya. Kami juga memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa kami dan keburukan amal perbuatan kami.
Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Demikian pula, barang siapa yang Allah sesatkan maka tiada satupun yang bisa memberi hidayah kepadanya.
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata tanpa ada sekutu bagiNya.
Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Semoga Allah memuji dan memberi keselamatan untuknya, keluarganya dan seluruh shahabatnya.
Wahai hamba-hamba Allah yang merupakan orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan yakinilah bahwa takwa adalah asas kebahagiaan dan jalan keberuntungan di dunia dan di akherat.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)
Yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS ath Thalaq:2).
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (٤)
Yang artinya, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam semua urusannya.” (QS ath Thalaq:4).
Hasil akhir yang baik itu selalu berpihak kepada orang-orang yang bertakwa.
Ketahuilah bahwa berbagai perkara yang mengerikan dan berbagai peristiwa yang datang silih berganti menimpa manusia itu berfungsi untuk menyingkap watak asli manusia, mengetahui sifat manusia dan memperlihatkan klasifikasi manusia dalam ketaatan kepada-Nya. Ketika ujian tiba manusia terbagi ke dalam berbagai kelompok. Di antaranya adalah sebagaimana yang Allah firmankan,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (١١)
Yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di pinggiran. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS al Hajj: 11).
Kelompok kedua adalah orang yang menyembah Allah dengan dasar ilmu, pengetahuan, iman yang kokoh dan akidah yang bersih. Jika dia mendapatkan musibah maka dia bersabar dan sabar itu yang lebih baik baginya. Setelah itu dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk melakukan berbagai sarana dan cara yang dibenarkan oleh syariat untuk membebaskan diri dari masalah dan melindungi diri dari dampak negatif masalah tersebut.
Lain halnya, jika dia mendapatkan nikmat maka dia bersyukur maka itulah yang lebih baik baginya. Setelah itu dia pergunakan nikmat tersebut untuk mentaati Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sungguh berbahagia seorang yang memiliki sifat semacam ini.
Iman yang benar dan akidah yang lurus itu memiliki pengaruh yang besar dan peran yang sangat vital untuk membantu mengatasi dan menyikapi berbagai kejadian dan musibah serta ujian yang menimpa manusia. Hal itu dikarenakan seorang yang memiliki iman dan akidah yang benar mendapatkan berbagai prinsip dan kaedah penting dari agamanya. Dengan seizin Allah, kaedah tersebut membantu orang tadi untuk bisa tetap tegar menghadapi bencana dan memiliki sikap yang tepat yang bertitik tolak dari akidah yang benar dan keimanan kepada Allah.
Dalam kesempatan kali ini akan kami sebutkan prinsip dan kaedah tersebut dalam rangka saling mengingatkan akan adanya prinsip-prinsip tersebut. Diharapkan setelah mengetahuinya seorang mukmin memiliki ilmu tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika mendapatkan ujian.
Pertama, seorang mukmin meyakini bahwa pencipta alam semesta adalah Allah. Oleh karena itu Dia memiliki hak penuh untuk mengatur makhluk ciptaan-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Dia putuskan apa yang Dia inginkan tanpa yang bisa memprotes dan menolak ketetapan-Nya. Apa yang Allah kehendaki itulah yang terjadi dan apa yang tidak Allah kehendaki tentu tidak akan terjadi. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah, zat yang maha tinggi dan maha agung. Allah berfirman
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٢٠ )
Yang artinya, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya. Dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu” (QS al Maidah:120).
Kedua, seorang mukmin yakin bahwa Allah telah memberikan jaminan untuk membela orang-orang yang beriman, menjaga agama ini, memuliakan pemeluknya dan meninggikan agama-Nya
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ (٤٧)
Yang artinya, “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman” (QS ar Ruum:47).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (٧)
Yang artinya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad:7).
Agar mendapatkan pertolongan Allah kita harus menolong agama-Nya. Kita harus bisa menundukkan jiwa dan nafsu kita sendiri. Kita harus bisa menundukkan dunia dan gemerlapnya. Kita harus beriman dan percaya kepada Allah serta memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Kita harus rutin melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Kita harus berhasil mengalahkan jiwa dan nafsu syahwat kita sendiri. Kita harus berhasil mengalahkan godaan dunia dan glamournya dengan secara tulus memberikan perhatian hati kepada Allah, menerapkan aturan-aturan-Nya pada diri kita, rutin mentaati-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Siapa yang beriman dan mentaati Allah maka Allah pasti akan menjaganya, membelanya, meneguhkan dan menjaganya dari segala bentuk keburukan.

Ketiga, sesungguhnya Allah berjanji untuk tidak menolong orang-orang kafir, menghancurkan dan menjadikan mereka sebagai materi pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Allah memberi tempo kepada orang yang zalim namun Allah itu sama sekali tidak akan membiarkan orang yang zalim. Jika Allah menyiksa orang yang zalim maka Dia akan menyiksanya dengan tiba-tiba.
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ (١٠٢ )
Yang artinya, “Dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS Huud:102).
Keempat, seorang mukmin itu yakin dengan seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa seorang itu tidak akan mati sampai ajalnya tiba dan jatah rezekinya habis.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ (٣٤)
Yang artinya, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS al A’raf:34).
Ajal itu ada batas akhirnya. Waktu hidup itu telah ditakdirkan dan terbatas. Kematian itu tidak bisa dimajukan sebagaimana juga tidak bisa ditunda. Jika seorang mukmin menyadari hal tersebut maka dia akan selalu bersiap-siap untuk mati yang merupakan awal perjumpaan dengan Allah. Seorang mukmin itu tidak akan tergoda dengan dunia bahkan dia yakin bahwa dunia itu fana dan akan meninggalkannya. Seorang itu pasti berjumpa dengan tuhan baik berumur panjang ataupun berumur pendek.
Kelima, karena demikian percaya dan bertawakal kepada Allah, seorang mukmin tidak akan terpengaruh dan merasa takut dengan berbagai propaganda. Bahkan seorang mukmin itu jika ditakut-takuti dengan berbagai sesembahan selain Allah maka dia akan semakin beriman, percaya dan yakin kepada Allah sebagaimana para sahabat.
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (١٧٣)فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ (١٧٤ )
Yang artinya, “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia[yaitu orang-orang Quraisy] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (QS Ali Imran:173-174).
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahihnya dari Abdullah bin Abbas, “Ucapan hasbunallah wani’mal wakil adalah ucapan Ibrahim, kekasih Allah ketika akan dilemparkan ke dalam api dan ucapan Muhammad ketika ada orang yang berkata kepada beliau, “Sesungguhnya manusia[yaitu orang-orang Quraisy] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” [QS Ali Imran:173].
Keenam, seorang mukmin itu selalu bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada Allah. Dia serahkan semua urusannya kepada Allah
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (٣)
Yang artinya, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath Thalaq:3).
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٣)
Yang artinya, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS al Maidah:23).
Barang siapa yang bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada Allah maka Allah akan menjaganya dan melindunginya dari segala keburukan serta segala fitnah meski demikian besar dan demikian hebat.
Dalam sebuah hadits yang hsahih disebutkan ada seorang yang mengambil pedang Nabi saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur beristirahat dalam sebuah perjalanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas terbangun dan mengarahkan pandangannya ke atas ternyata orang tersebut berdiri tepat di atas kepala Nabi sambil berkata, “Siapa yang akan melindungimu dariku?” sedangkan pedang dalam posisi terhunus di tangannya. Dengan penuh keteguhan hati dan kekuatan iman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Allah”.
Tiba-tiba pedang tersebut jatuh dari tangan orang tersebut yang segera diambil oleh Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas balik berkata, “Siapa yang akan melindungimu dariku?”.
Siapa saja yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan menjaga dan melindunginya dari berbagai mara bahaya.
Akan tetapi tawakal harus diiringi dengan melakukan usaha dengan benar dan berbagai sarana yang diperbolehkan oleh syariat. Itulah berbagai sarana yang diajarkan oleh syariat Allah agar terjaga dari fitnah dan terhindar dari berbagai keburukan. Usaha yang paling penting adalah menjaga ‘Allah’ dengan berkomitmen untuk mentaati-Nya, menjauhi larangan-Nya dan mentaati segala perintah-Nya.
Ketujuh, seorang muslim itu akan menjauhi segala penyebab timbulnya fitnah dan segala faktor pemicu terjadinya perpecahan serta demikian semangat untuk menjaga persatuan kaum muslimin, kesatuan hati mereka dan utuhnya barisan mereka untuk mentaati Allah dan mengikuti berbagai perintah-Nya.
Di antara doa ma’tsur ada yang bunyinya, “Ya Allah, perbaikilah hubungan di antara kami, satukanlah hati kami dan tunjukkanlah kepada kami jalan-jalan keselamatan”.
Seorang mukmin yang memiliki iman yang benar tentu sangat antusias untuk menjaga persatuan di antara saudara-saudaranya sesama orang yang beriman dan menjauhi sejauh-jauhnya berbagai perkara yang menyebabkan timbulnya perpecahan, percekcokan, perbedaan dan hilangnya satu kata diantara orang-orang yang beriman.


Kedelapan, tidak menyebarkan semua berita yang didengar, terlebih berita yang bisa menimbulkan kekhawatiran atau rasa aman di tengah-tengah masyarat.
Sebagian orang ketika timbul fitnah (baca: kerusuhan dan perbedaan pendapat) sangat bersemangat untuk menyebarkan berita apa pun keadaannya dan menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar tanpa mengecek berita yang benar dan berita yang salah. Demikian juga tanpa mempertimbangkan dampak yang timbul jika berita tersebut disebarluaskan.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan menyikapi adanya suatu berita.
memastikan keabsahan berita
sumber berita atau penyampai berita merenungkan dan menimbang-nimbang apakah menyebarluaskan berita itu bermanfaat bagi manusia baik dari sisi agama ataupun dunia ataukah malah menimbulkan bahaya berupa masyarakat menjadi ketakutan, merasa resah dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk berita semacam ini Allah berfirman,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣ )
Yang artinya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS an Nisa’:83).
Berdasarkan ayat ini maka jika kita mendapatkan berita yang bisa menimbulkan keresehan atau rasa aman di tengah masyarakat maka kita berkewajiban untuk tidak tergesa-gesa menyebarluaskannya di tengah masyarakat. Kita memiliki kewajiban untuk mengembalikannya kepada rasul yaitu kepada sunah rasul dan mengembalikannya kepada ulil amri yaitu para ulama yang memiliki ilmu, pengetahuan dan pemahaman yang mendalam. Jika memang menyebarkan berita tersebut bermanfaat untuk umat tentu para ulama akan menyarankannya. Jika tidak maka para ulama akan melarang kita untuk memupublikasikannya supaya kita tidak menanggung beban tanggung jawabnya yang berupa menyakiti banyak pihak karena tersebarnya berita tersebut.
Oleh karena itu terdapat riwayat shahih dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan, “Janganlah kalian menjadi orang-orang yang ‘ujulan, madzaayi’ dan budzron. Sesungguhnya di belakang kalian terdapat bencana yang menyakitkan”.
Yang dimaksud dengan ‘ujulan adalah orang yang suka tergesa-gesa dalam berbagai perkara dan tidak mau bersikap tenang.
Sedangkan madzayi’ adalah orang yang suka dan bersemangat besar untuk menyebarkan berita apapun kondisinya.
Adapun budzron adalah orang yang menebar perpecahan dan berbagai sebab perpecahan dan konflik di tengah-tengah masyarakat.

Kesembilan, urgensi berkonsultasi dengan para ulama yang mendalam ilmunya dengan bertanya kepada mereka, sejalan dengan perkataan mereka, memperhatikan wejangan-wejangan mereka dan tidak menentang mereka. Tidak semua orang boleh berbicara tentang masalah agama karena hal itu adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya dan benar-benar memahami agama. Merekalah orang-orang yang mengetahui hukum halal dan haram serta mengusai hukum-hukum agama secara umum. Merekalah orang-orang yang menetapkan hukum berdasarkan firman Allah dan sabda rasul-Nya.
Orang yang paling berani dalam memberi fatwa adalah orang yang paling berani untuk masuk neraka.
Karenanya pada saat terjadi fitnah (baca: perselisihan paham yang sengit) kita berkewajiban untuk berkonsultasi dengan para ulama, mengambil manfaat dari ilmu mereka dan sejalan dengan perkataan mereka serta tidak berani berbicara dalam bidang yang tidak dikuasai.
Diantara tanda baik keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna dan tidak membicarakan bidang yang tidak dikuasai dengan baik. Hal ini dilakukan dalam rangka agar tidak membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa yang mengarahkan orang lain pada perkara yang tidak benar maka dosanya itu ditanggung oleh yang mengarahkan”.
Kesepuluh, seorang mukmin itu menyakini bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, mendengar seruan dan mengabulkan doa mereka, menolong orang yang kesusahan dan menghilangkan kesulitan.
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٦٢)
Yang artinya, “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” (QS an Naml:62).
Seorang mukmin itu yakin bahwa Allah itu dekat dengan-Nya, mendengar doanya, akan mewujudkan harapannya dan memberikan permintaannya. Oleh sebab itu seorang muslim sering mengadu kepada Allah dengan penuh ketulusan dan dengan berulang kali agar kaum muslimin dijauhkan dan dipalingkan dari berbagai fitnah. Serta berdoa agar Allah memberikan untuk negeri kaum muslimin rasa aman, keimanan, keselamatan dan keislaman serta terjaga dari berbagai keburukan dan bencana. Doa adalah kunci segala kebaikan di dunia dan di akherat.
Kami memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang luhur agar Allah meneguhkan hati kita semua untuk selalu mentaatiNya, melindungi kita semua dari berbagai fitnah yang yang nampak ataupun yang tersembunyi, menjaga agama, keamanan dan keimanan kita. Semoga Allah tidak memasrahkan kita kecuali hanya kepada-Nya dan melindungi kita dari berbagai mara bahaya yang ditimbulkan oleh musuh.
Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka.
Terdapat suatu hadits dalam Sunan Abu Daud bahwa Nabi jika merasa takut dengan sekelompok orang maka beliau akan berdoa, “Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka”.
Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan?
Kita sering mendengar istilah “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Namun rupanya tidak banyak yang tahu darimana istilah ini berasal, dan apa makna sebenarnya dari kalimat tersebut. Pokoknya asal pakai saja, dan ngaku-ngaku itu ajaran Islam, karena kalimat tersebut ‘kelihatannya’ berasal dari Al Qur’an.
Dalam bahasa sehari-hari kata ‘fitnah’ diartikan sebagai penisbatan atau tuduhan suatu perbuatan kepada orang lain, dimana sebenarnya orang yang dituduh tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Maka perilaku tersebut disebut memfitnah. Tapi apakah makna ‘fitnah’ yang dimaksud di dalam Al Qur’an itu seperti yang disebutkan itu? Mari kita telaah.

Di dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh (2) ayat 191 tercantum kalimat “Wal fitnatu asyaddu minal qotli….” yang artinya “Dan fitnah itu lebih sangat (dosanya) daripada pembunuhan..”. Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa Imam Abul ‘Aliyah, Mujahid, Said bin Jubair, Ikrimah, Al Hasan, Qotadah, Ad Dhohak, dan Rabi’ ibn Anas mengartikan “Fitnah” ini dengan makna “Syirik”. Jadi Syirik itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.
Ayat tersebut turun berkaitan dengan haramnya membunuh di Masjidil Haram, namun hal tersebut diijinkan bagi Rasulullah saw manakala beliau memerangi kemusyrikan yang ada di sana. Sebagaimana diketahui, di Baitullah saat Rasulullah saw diutus terdapat ratusan berhala besar dan kecil. Rasulullah diutus untuk menghancurkan semuanya itu. Puncaknya adalah saat Fathu Makkah, dimana Rasulullah saw mengerahkan seluruh pasukan muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik yang ada di Makkah.
Kemudian juga di surat Al Baqoroh (2) ayat 217, disebutkan “Wal fitnatu akbaru minal qotli…” yang artinya “Fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan..”. Ayat ini turun ketika ada seorang musyrik yang dibunuh oleh muslimin di bulan haram, yakni Rajab. Muslimin menyangka saat itu masih bulan Jumadil Akhir. Sebagaimana diketahui, adalah haram atau dilarang seseorang itu membunuh dan berperang di bulan haram, yakni bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram.






Melihat salah seorang kawan mereka dibunuh, kaum musyrikin memprotes dan mendakwakan bahwa Muhammad telah menodai bulan haram. Maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kekafiran penduduk Makkah yang menyebabkan mereka mengusir muslimin dan menghalangi muslimin untuk beribadah di Baitullah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang beriman.
Tak ada satupun ayat di dalam Al Qur’an yang mengartikan kata “fitnah” dengan arti sebagaimana yang dipahami oleh orang Indonesia, yakni menuduhkan satu perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang dituduh. Kata ‘fitnah’ di dalam Al Qur’an memang mengandung makna yang beragam sesuai konteks kalimatnya. Ada yang bermakna bala bencana, ujian, cobaan, musibah, kemusyrikan, kekafiran, dan lain sebagainya. Maka memaknai kata ‘fitnah’ haruslah dipahami secara keseluruhan dari latar belakang turunnya ayat dan konteks kalimat , dengan memperhatikan pemahaman ulama tafsir terhadap kata tersebut.
Memaknai kata-kata di dalam Al Qur’an dengan memenggalnya menjadi pengertian yang sepotong-sepotong serta meninggalkan makna keseluruhan ayat, hanya akan menghasilkan pemahaman yang melenceng dan keliru akan isi Kitabullah. Dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang hendak menyalahgunakan Kitabullah demi mengesahkan segala perilakunya. Dan ini juga dilakukan oleh orang-orang yang hendak menyelewengkan makna Al Qur’an dari pengertian yang sebenarnya.


Catatan:
Yang dimaksud dengan istilah fitnah dalam hal ini adalah makna fitnah dalam bahasa Arab yang bisa berarti ujian berupa musibah, kerusuhan dan perselisihan yang tajam di tengah-tengah masyarakat. Ini semua tergantung konteks kalimat yang ada.